Al-Fãtihah hanyalah salah satu nama bagi surat ini. Ibnu Katsir mengatakan bahwa surat ini disebut fãtihatul-kitãb(i) karena dengannya dimulai (tuftahu) bacaan dalam shalat. Alasan itu tidak salah, tapi kurang jitu, karena orang paling awam pun pasti segera tahu bahwa fãt-hatul-kitãb adalah pembukaan kitab, yang dibuktikan dengan penempatannya sebagai surat pertama dalam mushhaf Al-Qurãn. Sementara pembuka (miftãh) shalat, menurut hadis adalah wudhu', bacaan pertamanya takbir (Allahu akbar), dan bacaan penutupnya salam (assalamu 'alaikum …).[1] Dalam hadis lain memang ada penegasan tentang pentingnya posisi Al-Fãtihah dalam shalat, walau bukan merupakan bacan pembuka. "Percumalah shalat seseorang yang (dalam shalatnya) tidak membaca fãtihatul-kitãb." (Hadis Bukhari-Muslim).[2]
Masih kata Ibnu Katsir, jumhur ulama menyebutnya ummul-kitãb(i), dan ada pula yang menyebutnya ummul-qurãn(i). Dikutipnya pula hadis shahih riwayat At-Tirmidzi dari Abu Hurairah, yang berisi sabda Rasulullah bahwa: "Al-hamdu lillahi rabbil 'ãlamïn adalah ummul-qurãn(i), alias ummul-kitãb(i), alias as-sab'ul-matsãni, alias al-qurãnul-'azhïm(u)."[3]
Hadis itu jelas menyebut lima nama untuk Al-Fãtihah, yaitu (1) Al-hamdu lillahi rabbil 'ãlamïn, (2) ummul-qurãn, (3) ummul-kitãb, (4) as-sab'ul-matsãni, dan (5) al-qurnul-'azhïm.
Keistimewaan bahasa Al-Qurãn
Nama pertama dari Nabi itu jelas diambil dari salah satu ayat dalam surat , dan pengambilan nama ini pasti mempunyai tujuan (konotasi) tertentu. Demikian juga dengan nama-nama lainnya; semua seperti sengaja disebutkan Nabi untuk menekankan sisi-sisi (aspek-aspek) tertentu dari surat Al-Fãtihah.
Selanjutnya ciri itulah, yakni kecenderungan menyebut sesuatu dengan banyak nama, yang muncul sebagai keistimewaan gaya bahasa Al-Qurãn, yang konon menjadi gaya orang Arab pula. Hal itu diungkapkan, antara lain, oleh Imam Syafi’i dalam kitabnya yang terkenal, Ar-Risãlah:
Orang Arab kadang memulai subyek pembicaraan dengan kata-kata di mana yang pertama memperjelas kata yang terakhir; atau sebaliknya kata-katanya yang terakhir memperjelas kata yang pertama. Dan kadang mereka berbicara tentang suatu persoalan secara implisit tanpa menerangkannya dengan kata-kata. Bagi mereka, bentuk pengungkapan seperti ini punya nilai yang sangat tinggi dan hanya kalangan terpelajar yang dapat memahaminya. Mereka juga sering menyebut satu obyek dengan nama banyak, dan menyebut satu nama dengan makna yang banyak.[4]
Dengan pernyataannya itu, Syafi’i memang hanya ingin memberi tekanan bahwa Al-Qurãn di-ajarkan dalam bahasa Arab asli, dan di dalamnya sama sekali tidak terkandung sepatah kata pun yang diambil dari bahasa asing.
Syafi’i agaknya tidak mengindahkan antropologi bahasa Arab itu sendiri, apalagi menyadari hubungannya dengan bahasa Semit (Samyah) secara keseluruhan, yang mencakup bangsa-bangsa yang pernah mendiami daerah-daerah Aram, Assyria, Babylonia , Canaan (termasuk Ibrani), dan Phoenicia . Bangsa-bangsa yang masih mengggunakan bahasa Semite sekarang adalah Arab dan Yahudi, terutama di Israel .[5]
Melihat fakta-fakta tersebut, bisa dipahami bila As-Suyuthy (1445-2505) menyebut adanya kata-kata asing yang masuk ke dalam Al-Qurãn, misalnya dari bahasa Habsyi, Persia, Yunani, India, Suryani, Ibrani, Nibti, Qibti, Turki, Zanziah, dan Barbariyah. Sementara Arther Jeffrey, dalam bukunya the Foreign Vocabulary of the Qur’an, bahkah menyebutkan sedikitnya ada 55 bahasa dan aksen asing yang kata-katanya masuk ke dalam Al-Qurãn.[6]
Patut diingatkan bahwa penyebutan bangsa-bangsa Semit tidak bisa dipisahkan dari sejarah para nabi, mulai dari Adam sampai Muhammad, yang secara keseluruhan boleh dikatakan mempunyai saling hubungan dalam hal kebangsaan dan juga kebahasaan. Nabi Ibrahim yang berasal dari Babylonia , misalnya, jelas mempunyai hubungan erat dengan dua bangsa melalui kedua anaknya, yaitu Ishaq (dengan Yahudi) dan Isma’il (dengan Arab). Karena itu, bila dalam Al-Qurãn memang terdapat kata-kata asing, tinjauan antropoligi membenarkan hal itu, dan pada tahap berikutnya apa yang disebut ‘bahasa-bahasa asing’ itu sebenarnya bukan merupakan sesuatu yang asing, karena masih dalam lingkaran ‘keluarga’, yaitu keluarga (khususnya) bahasa-bahasa Semit.
Selain itu, bukankan dalam Al-Qurãn banyak disebut tokoh-tokoh non-Arab seperti Ibrahim sendiri, kemudian Daud, Sulaiman, Musa, Fir’aun, dan lain-lain? Dan, dalam konteks wahyu itu sendiri, bukankah Allah menegaskan bahwa apa yang diwahyukan kepada Nabi Muhammad (Al-Qurãn), sama dengan yang diwahyukan kepada Ibrahim dan Musa?[7]
Khusus untuk bahasa sebagai alat komunikasi, yang ingin penulis tekankan di sini adalah kenyataan bahwa bahasa Al-Qurãn sangat kentara mewakili pikiran yang sangat cerdas dan serba tahu.
Sehubungan dengan itulah, sulit bagi penulis untuk menerima pemikiran Syafi’i yang terkesan seperti hendak mengaitkan hal itu – khususnya bahasa Al-Qurãn - semata-mata dengan bangsa Arab. Padahal Syafi’i juga mengatakan bahwa keindahan gaya bahasa Al-Qurãn hanya bisa dipahami kalangan terpelajar.
Pihak manakah gerangan yang bisa disebut mewakili “kalangan terpelajar” bangsa Arab pada masa Nabi Muhammad, yang mempunyai kemampuan berbahasa yang sedemikian hebatnya? Banyak orang mengisyaratkan bahwa yang dimaksud adalah orang-orang Arab Badwi (Badui), yang melestarikan kefasihan bahasa Arab berkat cara hidup mereka yang memencilkan diri dari pergaulan dengan orang-orang ajam (non-Arab). Tapi, kenyataannya Al-Qurãn diturunkan kepada ‘orang Arab’ kota, Nabi Muhammad, yang bahkan hakikat kebangsaannya pun ada hubungan dengan Isma’il, anak Ibrahim, yang orang Babylonia itu.
Selain itu, bukankah sudah terbukti sepanjang sejarah bahwa yang disebut kalangan terpelajar biasanya adalah orang-orang ‘kota ’. Dan, dalam konteks feodalisme, orang-orang kota itu adalah kaum feodal itu sendiri, yaitu para bangsawan.
‘Kebetulan’, Nabi Muhammad adalah keturunan bangsawan Makkah terkemuka, Quraisy.
Tapi, sekali lagi, gaya bahasa Al-Qurãn mengisyaratkan adanya pengguna bahasa yang sangat cerdas dan serba tahu, yang sulit untuk dikaitkan secara langsung dengan seorang lelaki bernama Muhammad secara pribadi atau dengan sekelompok bangsawan Quraisy, seberapa pun tingkat keunggulan mereka dalam berbahasa.
Bahasa syair-syair Arab Jahiliyah mungkin bisa dikaitkan langsung dengan kaum Quraisy maupun Arab Badwi. Tapi Al-Qurãn bukan sebuah naskah yang berisi permainan kata dari kepala-kepala yang hanya berisi angan-angan melambung tinggi serta impian-impian yang kadang mesum dan sering kali hampa makna. Al-Qurãn adalah naskah yang begitu kaya informasi, membuka wawasan-wawasan baru, mengajak merenung sejauh-jauhnya dan sedalam-dalamnya, untuk memahami hubungan manusia dengan semesta alam dan Tuhan, secara proporsional dan sistematis.
Pengertian nama pertama
Mengapa surat Al-Fãtihah di-sebut (surat ) Al-hamdu lillahi rabbil 'ãlamïn, dan kadang diringkas menjadi al-hamdu saja?
Jawabannya kita dapatkan antara lain dalam salah satu bacaan shalat, yaitu bacaan ketika bangkit dari ruku’, yang berbunyi: sami’allahu li-man hamidahu. Rabbanã, lakal-hamdu, mil-u-ssamãwãti wa mil-ul-ardhi wa mil-u mã syi’ta mian syay-in ba’du.
Intinya adalah kata kerja hamida-yahmadu, dan masdarnya hamdan, atau hamdun (kata benda umum), yang ketika diberi tambahan kata sandang pemasti (definitif) al berubah menjadi al-hamdu.
Pengertian al-hamdu mencakup kata ats-tsanã’/الثناء (pujian; pujaan), asy-syukru/الشكر (ungkapan terimakasih – dengan kata dan perbuatan), dan al-‘ibãdah/العبادة (pengabdian).
Dalam bacaan di atas, jelas sekali bahwa al-hamdu adalah sesuatu yang memenuhi ruang di antara langit dan bumi. Memenuhi segala apa pun ciptaan Allah. Bahkan seandainya Allah masih sedang dan hendak menciptakan lagi mahkluk-makhluk baru, al-hamdu itu juga pasti meliputi mereka.
Dengan kata lain, semua ciptaan Allah, semua alam, seluruhnya dalam keadaan memuji, memuja, dan mengabdi Allah, kecuali – tentu – Iblis dan kebanyakan manusia. Itulah gunanya Al-Qurãn diturunkan. Yaitu untuk memberi tahu manusia tentang kenyataan itu, supaya kesadaran mereka tersentuh, dan akhirnya berusaha menjadi abdi-abdi Allah.
Pengertian nama kedua
Namanya yang kedua, ummul-qurãn, mengacu pada kenyataan bahwa surat Al-Fãtihah adalah ummun, yang secara harfiah berarti ibu; sumber, asal; dasar, landasan, asli; intisari (esensi).
Nama – atau istilah – ummul-qurãn, jelas mengacu pada kedudukan surat Al-Fãtihah sebagai intisari atau esensi dari Al-Qurãn. Bila Al-Qurãn kita sebut ajaran, maka Al-Fãtihah adalah intisarinya. Begitu juga bila kita menyebut Al-Qurãn sebagai wacana, maka Al-Fãtihah adalah inti dari wacana itu. Nama ini juga masih berkaitan dengan nama yang pertama.
Pengertian nama ketiga
Nama ketiga, ummul-kitãb, sekilas seperti sama persis dengan nama kedua, yaitu bila kita menganggap qur’ãnun sama dengan kitãbun.
Tapi, seperti pengertian harfiahnya, qur’ãnun (bacaan, literatur) mengacu kepada bentuk-bentuk bacaan atau wacana secara umum. Sementara kitãbun (ketetapan; peraturan) mengacu pada wacana yang lebih berbau hukum. Meskipun demikian, harus diingat juga bahwa Al-Qurãn dan Al-Kitãb kedua-duanya adalah nama bagi wahyu yang diterima Nabi Muhammad. Selain kedua nama ini, masih banyak pula nama-nama yang lain, yang pada dasarnya masing-masing mewakili aspek-aspek tertentu (khusus) dari wahyu tersebut.
Pengertian nama keempat
Nama yang keempat, as-sab-'ul-matsãni, harfiah bisa berarti “si tujuh (ayat) yang diulang-ulang (dalam shalat)”, atau “si tujuh bermakna ganda”, atau “si tujuh kuadrat”. Hal ini tentu berhubungan dengan posisinya sebagai intisari Al-Qurãn/Al-Kitãb. Satu segi, dalam pembacaan, ia memang diulang-ulang dalam shalat, dibaca satu raka’at satu kali. Segi lain, jumlah ayatnya yang tujuh itu, rupanya mengacu pada makna yang banyak atau luas, yaitu sebanyak dan seluas cakupan wacana Al-Qurãn itu sendiri.
Pengertian nama kelima
Nama al-qurãnul-'azhïm, harfiah berarti al-qurãn yang besar/agung. Mengingat kedudukan Al-Fãtihah sebagai bagian dari Al-Qurãn, nama ini dengan sendirinya menempatkan surat-surat selainnya dalam posisi sebaliknya. Bila Al-Fãtihah adalah surat yang besar/agung, surat-surat selainnya tentu menjadi kecil/hina. Pengertian ini tentu tidak bisa diterima akal sehat.
Akal sehat hanya bisa menerima “kebesaran” Al-Fãtihah dalam konteks metode berpikir ilmiah, yang terbagi menjadi dua, yaitu metode deduksi dan induksi.
Metode (cara) deduksi adalah cara berpikir yang bertitik tolak pada kesimpulan umum. Cara ini kadang disebut juga sebagai abstraksi, karena memang masih bersifat abstrak. Dalam kehidupan sehari-hari, pemikiran deduktif adalah pemikiran yang lebih berciri “keinginan” atau “cita-cita” untuk mendapatkan atau mewujudkan sesuatu.
Kenyataan teksnya memang menegaskan bahwa surat Al-Fãtihah mewakili suatu keinginan, atau harapan, atau cita-cita, yang dalam Al-Qurãn ketiga bentuk deduksi atau abstrasi itu tercakup dalam kata shalãt dan juga du’ã (doa).[8] Karena itu tidak aneh bila surat Al-Fãtihah menjadi “surat wajib” alias bacaan pokok dalam (ritual) shalat.
Kebalikan dari abstraksi adalah ekspasiasi (expatiate), yaitu membahas sesuatu secara panjang lebar dan rinci. Dalam konteks Al-Qurãn, bila abstraksi diwakili surat Al-Fãtihah, maka surat-surat selainnya otomatis mewakili ekspasiasinya.
Dengan demikian, pengertian Al-Fãtihah sebagai al-qurãnul-'azhïm adalah “Al-Qurãn dalam abstraksi”, atau “Al-Qurãn secara global”.
Demikianlah hasil kajian penulis. Sekali lagi, kelima nama tersebut pada dasarnya mempunyai pengertian yang sama, namun setiap nama agaknya memberi penekanan pada fungsi-fungsi tertentu dari surat ini.
Tempat penurunan surat Al-Fãtihah
Walau berbeda pendapat dalam soal urutan penurunannya Para ahli sejarah Al-Qurãn sepakat bahwa surat Al-Fãtihah diturunkan di Makkah, dan merupakan surat pertama yang diturunkan secara utuh.
Sebab diturunkan secara utuh di Makah tentu bukan semata-mata karena surat ini ringkas. Alasan logisnya mengapa diturunkan di Makkah adalah karena – sesuai dengan nama-namanya di atas – surat ini mewakili abstraksi Al-Qurãn. Kemudian, bila dihubungkan dengan lokasi penurunnannya, jelas sekali bagi kita bahwa Makkah adalah tempat Rasulullah dilahirkan dan kemudian mengemban tugas da’wah.
Bila da’wah diumpakan sebagai pekerjaan bertani, Makkah adalah ibarat lahan persemaian Al-Qurãn, sedangkan penanaman yang sebenarnya baru (bisa) dilakukan di Yatsrib (Madinah).
Di Makkah lah Rasulullah bersama para pengikutnya menumbuhkan cita-cita dan harapan untuk hidup dengan Al-Qurãn, dan surat Al-Fãtihah adalah rumusan dari gejolak batin mereka itu.
Ikrar kaum beriman
Bila kita perhatikan susunan redaksinya, surat Al-Fãtihah adalah sebuah iqrãr (إقرار).
Bagi orang-orang Arab yang terbiasa berkelana (Badwi), iqrãr adalah pemilihan tempat tinggal. Selain itu, iqrãr juga berarti penegakan, landasan (fondasi), dan sebagainya. Pengertian yang populer dari kata iqrãr, adalah pernyataan, penegasan, korfirmasi, pengakuan, dan sebagainya. Pengertian yang terakhir inilah yang agaknya cocok dengan surat Al-Fãtihah.
Tapi, siapa gerangan yang melakukan iqrãr tersebut?
Isa Bugis membantah rumusan para ahli nahwu itu, meski juga sama mengajukan ana sebagai pokok kalimat dalam bismillãhirrahmãnirrahîm. Dengan mengajukan teori muhãdatsah (percakapan), yakni bahwa Al-Qurãn pada hakikatnya adalah percakapan antara Allah dengan RasulNya, Isa Bugis mengatakan bahwa bismillãhirrahmãnirrahîm adalah jawaban (Rasulullah, mu’min) atas perintah iqra’ bismi-rabbika dalam wahyu pertama (surat Al-‘Alaq).
Terlalu bersemangat dengan suatu teori kadang membuat kita terperosok ke lubang subyektifisme, sehingga mengabaikan kenyataan yang sebenarnya menyolok mata. Bila teks surat Al-Fãtihah diperhatikan baik-baik, kita akan menemukan bahwa pokok kalimat yang dianggap hilang atau disembunyikan itu sebenarnya muncul pada ayat-ayat berikutnya, misalnya pada ayat 5 dan 6. Di situ jelas bahwa subyek (mubtada’) pada bismillãhirrahmãnirrahîm – dalam konteks surat Al-Fãtihah – adalah nahnu/نحن (kami; kita), bukan ana.
Jadi, yang menyatakan iqrãr (ikrar) itu adalah “kami”. Jelasnya siapa? Dari kata na’budu/نعبد dalam ayat 5 tersirat jawaban bahwa “kami” yang dimaksud adalah orang-orang yang menyatakan diri sebagai ãbidûn(a)/عابدون, para hamba Allah.
Dengan demikian, jelaslah bahwa surat Al-Fãtihah adalah ikrar (pernyataan, proklamasi, konfirmasi, dsb.) dari mereka yang mengaku para hamba Allah, untuk benar-benar menjadi hamba Allah sejati dengan cara menerapkan ajaran Allah di bawah bimbingan Rasulullah.
Bila kita perhatikan konteks sejarahnya, dengan menggarisbawahi bahwa surat ini turun setelah surat Al-‘Alaq yang menegaskan bahwa Allah adalah sumber ilmu; lalu surat Al-Qalam yang intinya adalah perbandingan antara ajaran Allah dengan ajaran-ajaran yang lain; lantas surat Al-Muz-zammil, yang menekankan keharusan melakukan intensifikasi studi Al-Qurãn; kemudian surat Al-Muddattsir yang mengasung kegiatan da’wah; maka kemunculan surat Al-Fãtihah pada urutan kelima (menurut salah satu versi asbabu-nuzul) jelas mengisyaratkan adanya prinsip penyampaian ilmu yang taktis dan strategis.
Kita dapat membayangkan bahwa – sampai pada penurunan surat Al-Fãtihah – Rasulullah telah menghimpun sejumlah orang, yang siap berikrar (dengan surat Al-Fãtihah sebagai teksnya) untuk menjadi para hamba Allah di bawah pimpinan beliau.
Selanjutnya, dengan landasan ayat 6 – ihdinãsh-shirãthal-mustaqîm – yang ‘diasumsikan’ telah menjadi bagian internal mereka (Rasulullah dan para pengikutnya), maka Al-Qurãn sebagai ash-shirãthal-mustaqîm itu terus diturunkan Allah untuk memenuhi hasrat mereka mendapatkan jalan hidup yang ‘lurus’, yang dulu pernah diturunkan Allah kepada para rasul sebelum Nabi Muhammad.
Satu segi, pemaparan di atas diharapkan dapat memberikan gambaran bahwa harapan atau cita-cita (= doa) kaum beriman hendaknya ditabur atau ditanam di atas lahan yang memang disediakan Allah, sehingga terkabulnya harapan atau cita-cita itu adalah sebuah keniscayaan, bukan sebuah angan-angan.
Segi lain, manusia harus mengakui kelemahan dirinya, yang sebenarnya tidak mampu mengetahui dengan pasti tentang apa yang layak dan tidak layak untuk diharapkan atau dicita-citakan. Sejarah Rasulullah dengan para pengikut awalnya memberi gambaran bahwa Allah mengajarkan apa yang layak dan tidak layak itu, sehingga ketika mereka meminta apa yang dinyatakan layak, maka sudah barang tentu Allah pun mengabulkan permintaan mereka.
Sebaliknya kita, dalam keadaan yang terus didera kesulitan dan bencana, kita lihat berulang-ulang para kiai dan tokoh agama memimpin upaca istighatsah, tapi Allah seperti tidak mau tahu rintihan dan isak tangis mereka. Mengapa?
Silakan temukan jawabannya sendiri.∆
[1] مفتاح الصلاة الوضوء وتحريمها التكبير وتحليلها السلام
[2] لا صلاة لمن لم بقرأ بفاتحة الكتاب
[3] قال رسول الله صلى الله عليه و سلم: الحمد لله رب العالمين أم القرءان وأم الكتاب والسبع المثانى والقرءان العظيم
[5] Microsoft Encarta Encyclopedia 1997.
[6] Seperti dikutip Dr. George Sarton dalam The Incubation Of Western Culture In The Middle East, yang diterjemahkan Moh. Ridlwan Assegaf dari versi bahasa Arabnya, menjadi Barat, Timur, dan Islam, hal. 33, cetakan kedua, Pustaka Progressif, Surabaya , 1989.
[7]Surat Al-A’la ayat 18-19.
[8]Rasulullah menegaskan bahwa sha-lat dan du’a adalah muradif (sino-nim).