Bagaikan tali...

Menurut Rasulullah saw (dalam hadis riwayat Al-Bazar dan Ath-thabrani), Al-Qurãn itu ibarat tali, yang satu ujungnya di tangan kita dan ujung lainnya di 'tangan' Allah. Dengan kata lain, Al-Qurãn adalah alat komunikasi kita dengan Allah. Bahkan saya sering mengatakan bahwa Al-Qurãn adalah satu-satunya wakil Allah di bumi.

عن جبير ابن مطعم رضي الله عنه قال: قال رسول الله صلى الله عليه و سلم
أبشروا فإنّ هذا القرآن طرفه بيدالله وطرفه بيدكم فتمسّكوابه فإنكم لم
تهلكوا ولا تضلّوا بعد أبدا (البزر والطبرنى)


Thursday, March 11, 2010

Surat Al-Fãtihah, Satu Surat Banyak Nama


Al-Fãtihah hanyalah salah satu nama bagi surat ini. Ibnu Katsir mengatakan bahwa surat ini disebut fãtihatul-kitãb(i) karena dengannya dimulai (tuftahu) bacaan dalam shalat. Alasan itu tidak salah, tapi kurang jitu, karena orang paling awam pun pasti segera tahu bahwa fãt-hatul-kitãb adalah pembukaan kitab, yang  dibuktikan dengan penempatannya sebagai surat pertama dalam mushhaf Al-Qurãn. Sementara pembuka (miftãh) shalat, menurut hadis  adalah wudhu', bacaan pertamanya takbir (Allahu akbar), dan bacaan penutupnya salam (assalamu 'alaikum …).[1] Dalam hadis lain memang ada penegasan tentang pentingnya posisi Al-Fãtihah dalam shalat, walau bukan merupakan bacan pembuka. "Percumalah shalat seseorang yang (dalam shalatnya) tidak membaca fãtihatul-kitãb." (Hadis Bukhari-Muslim).[2]
Masih kata Ibnu Katsir, jumhur ulama menyebutnya ummul-kitãb(i), dan ada pula yang menyebutnya ummul-qurãn(i). Dikutipnya pula hadis shahih riwayat At-Tirmidzi dari Abu Hurairah, yang berisi sabda Rasulullah bahwa: "Al-hamdu lillahi rabbil 'ãlamïn adalah ummul-qurãn(i), alias ummul-kitãb(i), alias as-sab'ul-matsãni, alias al-qurãnul-'azhïm(u)."[3]
Hadis itu jelas menyebut lima nama untuk Al-Fãtihah, yaitu (1) Al-hamdu lillahi rabbil 'ãlamïn, (2) ummul-qurãn, (3) ummul-kitãb, (4) as-sab'ul-matsãni, dan (5) al-qurnul-'azhïm.

Keistimewaan bahasa Al-Qurãn
Nama pertama dari Nabi itu jelas diambil dari salah satu ayat dalam surat, dan pengambilan nama ini pasti mempunyai tujuan (konotasi) tertentu. Demikian juga dengan nama-nama lainnya; semua seperti sengaja disebutkan Nabi untuk menekankan sisi-sisi (aspek-aspek) tertentu dari surat Al-Fãtihah.
Selanjutnya ciri itulah, yakni kecenderungan menyebut sesuatu dengan banyak nama, yang muncul sebagai keistimewaan gaya bahasa Al-Qurãn, yang konon menjadi gaya orang Arab pula. Hal itu diungkapkan, antara lain, oleh Imam Syafi’i dalam kitabnya yang terkenal, Ar-Risãlah:
Orang Arab kadang memulai subyek pembicaraan dengan kata-kata di mana yang pertama memperjelas kata yang terakhir; atau sebaliknya kata-katanya yang terakhir memperjelas kata yang pertama. Dan kadang mereka berbicara tentang suatu persoalan secara implisit tanpa menerangkannya dengan kata-kata. Bagi mereka, bentuk pengungkapan seperti ini punya nilai yang sangat tinggi dan hanya kalangan terpelajar yang dapat memahaminya. Mereka juga sering menyebut satu obyek dengan nama banyak, dan menyebut satu nama dengan makna yang banyak.[4]
Dengan pernyataannya itu, Syafi’i memang hanya ingin memberi tekanan bahwa Al-Qurãn di-ajarkan dalam bahasa Arab asli, dan di dalamnya sama sekali tidak terkandung sepatah kata pun yang diambil dari bahasa asing.
Syafi’i agaknya tidak mengindahkan antropologi bahasa Arab itu sendiri, apalagi menyadari hubungannya dengan bahasa Semit (Samyah) secara keseluruhan, yang mencakup bangsa-bangsa yang pernah mendiami daerah-daerah Aram, Assyria, Babylonia, Canaan (termasuk Ibrani), dan Phoenicia. Bangsa-bangsa yang masih mengggunakan bahasa Semite sekarang adalah Arab dan Yahudi, terutama di Israel.[5]
Melihat fakta-fakta tersebut, bisa dipahami bila As-Suyuthy (1445-2505) menyebut adanya kata-kata asing yang masuk ke dalam Al-Qurãn, misalnya dari bahasa Habsyi, Persia, Yunani, India, Suryani, Ibrani, Nibti, Qibti, Turki, Zanziah, dan Barbariyah. Sementara Arther Jeffrey, dalam bukunya the Foreign Vocabulary of the Qur’an, bahkah menyebutkan sedikitnya ada 55 bahasa dan aksen asing yang kata-katanya masuk ke dalam Al-Qurãn.[6]
Patut diingatkan bahwa penyebutan bangsa-bangsa Semit tidak bisa dipisahkan dari sejarah para nabi, mulai dari Adam sampai Muhammad, yang secara keseluruhan boleh dikatakan mempunyai saling hubungan dalam hal kebangsaan dan juga kebahasaan. Nabi Ibrahim yang berasal dari Babylonia, misalnya, jelas mempunyai hubungan erat dengan dua bangsa melalui kedua anaknya, yaitu Ishaq (dengan Yahudi) dan Isma’il (dengan Arab). Karena itu, bila dalam Al-Qurãn memang terdapat kata-kata asing, tinjauan antropoligi membenarkan hal itu, dan pada tahap berikutnya apa yang disebut ‘bahasa-bahasa asing’ itu sebenarnya bukan merupakan sesuatu yang asing, karena masih dalam lingkaran ‘keluarga’, yaitu keluarga (khususnya) bahasa-bahasa Semit.
Selain itu, bukankan dalam Al-Qurãn banyak disebut tokoh-tokoh non-Arab seperti Ibrahim sendiri, kemudian Daud, Sulaiman, Musa, Fir’aun, dan lain-lain? Dan, dalam konteks wahyu itu sendiri, bukankah Allah menegaskan bahwa apa yang diwahyukan kepada Nabi Muhammad (Al-Qurãn), sama dengan yang diwahyukan kepada Ibrahim dan Musa?[7]
Khusus untuk  bahasa sebagai alat komunikasi, yang ingin penulis tekankan di sini adalah kenyataan bahwa bahasa Al-Qurãn sangat kentara mewakili pikiran yang sangat cerdas dan serba tahu.
Sehubungan dengan itulah, sulit bagi penulis untuk menerima pemikiran Syafi’i yang terkesan seperti hendak mengaitkan hal itu – khususnya bahasa Al-Qurãn - semata-mata dengan bangsa Arab. Padahal Syafi’i juga mengatakan bahwa keindahan gaya bahasa Al-Qurãn hanya bisa dipahami kalangan terpelajar.
Pihak manakah gerangan yang bisa disebut mewakili “kalangan terpelajar” bangsa Arab pada masa Nabi Muhammad, yang mempunyai kemampuan berbahasa yang sedemikian hebatnya? Banyak orang mengisyaratkan bahwa yang dimaksud adalah orang-orang Arab Badwi (Badui), yang melestarikan kefasihan bahasa Arab berkat cara hidup mereka yang memencilkan diri dari pergaulan dengan orang-orang ajam (non-Arab). Tapi, kenyataannya Al-Qurãn diturunkan kepada ‘orang Arab’ kota, Nabi Muhammad, yang bahkan hakikat kebangsaannya pun ada hubungan dengan Isma’il, anak Ibrahim, yang orang Babylonia itu.
Selain itu, bukankah sudah terbukti sepanjang sejarah bahwa yang disebut kalangan terpelajar biasanya adalah orang-orang ‘kota’. Dan, dalam konteks feodalisme, orang-orang kota itu adalah kaum feodal itu sendiri, yaitu para bangsawan.
‘Kebetulan’, Nabi Muhammad adalah keturunan bangsawan Makkah terkemuka, Quraisy.
Para bangsawan (kaum feodal) Jawa, misalnya, melestarikan “bahasa Jawa asli” yang disebut kromo inggil (bahasa bersopan santun tinggi). Bercermin pada hal ini, tentu lebih masuk akal bila yang memelihara bahasa Arab fushah, atau bahasa Arab klasik, adalah para bangsawan Quraisy, bukan orang-orang Badwi (Arab dusun).
Tapi, sekali lagi, gaya bahasa Al-Qurãn mengisyaratkan adanya pengguna bahasa yang sangat cerdas dan serba tahu, yang sulit untuk dikaitkan secara langsung dengan seorang lelaki bernama Muhammad secara pribadi atau dengan sekelompok bangsawan Quraisy, seberapa pun tingkat keunggulan mereka dalam berbahasa.
Bahasa syair-syair Arab Jahiliyah mungkin bisa dikaitkan langsung dengan kaum Quraisy maupun Arab Badwi. Tapi Al-Qurãn bukan sebuah naskah yang berisi permainan kata dari kepala-kepala yang hanya berisi angan-angan melambung tinggi serta impian-impian yang kadang mesum dan sering kali hampa  makna. Al-Qurãn adalah naskah yang begitu kaya informasi, membuka wawasan-wawasan baru, mengajak merenung sejauh-jauhnya dan sedalam-dalamnya, untuk memahami hubungan manusia dengan semesta alam dan Tuhan, secara proporsional dan sistematis.

Pengertian nama pertama
Mengapa surat Al-Fãtihah di-sebut (surat) Al-hamdu lillahi rabbil 'ãlamïn, dan kadang diringkas menjadi al-hamdu saja?
Jawabannya kita dapatkan antara lain dalam salah satu bacaan shalat, yaitu bacaan ketika bangkit dari ruku’, yang berbunyi: sami’allahu li-man hamidahu. Rabbanã, lakal-hamdu, mil-u-ssamãwãti wa mil-ul-ardhi wa mil-u mã syi’ta mian syay-in ba’du.
Intinya adalah kata kerja hamida-yahmadu, dan masdarnya hamdan, atau hamdun (kata benda umum), yang ketika diberi tambahan kata sandang pemasti (definitif) al berubah menjadi al-hamdu.
Pengertian  al-hamdu mencakup kata ats-tsanã’/الثناء (pujian; pujaan), asy-syukru/الشكر (ungkapan terimakasih – dengan kata dan perbuatan), dan al-‘ibãdah/العبادة (pengabdian).
Dalam bacaan di atas, jelas sekali bahwa al-hamdu adalah sesuatu yang memenuhi ruang di antara langit dan bumi. Memenuhi segala apa pun ciptaan Allah. Bahkan seandainya Allah masih sedang dan hendak menciptakan lagi mahkluk-makhluk baru, al-hamdu itu juga pasti meliputi mereka.
Dengan kata lain, semua ciptaan Allah, semua alam, seluruhnya dalam keadaan memuji, memuja, dan mengabdi Allah, kecuali – tentu – Iblis dan kebanyakan manusia. Itulah gunanya Al-Qurãn diturunkan. Yaitu untuk memberi tahu manusia tentang kenyataan itu, supaya kesadaran mereka tersentuh, dan akhirnya berusaha menjadi abdi-abdi Allah.

Pengertian nama kedua
Namanya yang kedua, ummul-qurãn, mengacu pada kenyataan bahwa surat Al-Fãtihah adalah ummun, yang secara harfiah berarti ibu; sumber, asal; dasar, landasan, asli; intisari (esensi).
Nama – atau istilah – ummul-qurãn, jelas mengacu pada kedudukan surat Al-Fãtihah sebagai intisari atau esensi dari Al-Qurãn. Bila Al-Qurãn kita sebut ajaran, maka Al-Fãtihah adalah intisarinya. Begitu juga bila kita menyebut Al-Qurãn sebagai wacana, maka Al-Fãtihah adalah inti dari wacana itu. Nama ini juga masih berkaitan dengan nama yang pertama.

Pengertian nama ketiga
Nama ketiga, ummul-kitãb, sekilas seperti sama persis dengan nama kedua, yaitu bila kita menganggap qur’ãnun sama dengan kitãbun.
Tapi, seperti pengertian harfiahnya, qur’ãnun (bacaan, literatur) mengacu kepada bentuk-bentuk bacaan atau wacana secara umum. Sementara kitãbun (ketetapan; peraturan) mengacu pada wacana yang lebih berbau hukum. Meskipun demikian, harus diingat juga bahwa Al-Qurãn dan Al-Kitãb kedua-duanya adalah nama bagi wahyu yang diterima Nabi Muhammad. Selain kedua nama ini, masih banyak pula nama-nama yang lain, yang pada dasarnya masing-masing mewakili aspek-aspek tertentu (khusus) dari wahyu tersebut.

Pengertian nama keempat
Nama yang keempat, as-sab-'ul-matsãni, harfiah bisa berarti “si tujuh (ayat) yang diulang-ulang (dalam shalat)”, atau “si tujuh bermakna ganda”, atau “si tujuh kuadrat”. Hal ini tentu berhubungan dengan posisinya sebagai intisari Al-Qurãn/Al-Kitãb. Satu segi, dalam pembacaan, ia memang diulang-ulang dalam shalat, dibaca satu raka’at satu kali. Segi lain, jumlah ayatnya yang tujuh itu, rupanya mengacu pada makna yang banyak atau luas, yaitu sebanyak dan seluas cakupan wacana Al-Qurãn itu sendiri.

Pengertian nama kelima
Nama al-qurãnul-'azhïm, harfiah berarti al-qurãn yang besar/agung. Mengingat kedudukan Al-Fãtihah sebagai bagian dari Al-Qurãn, nama ini dengan sendirinya menempatkan surat-surat selainnya dalam posisi sebaliknya. Bila Al-Fãtihah adalah surat yang besar/agung, surat-surat selainnya tentu menjadi kecil/hina. Pengertian ini tentu tidak bisa diterima akal sehat.
Akal sehat hanya bisa menerima “kebesaran” Al-Fãtihah dalam konteks metode berpikir ilmiah, yang terbagi menjadi dua, yaitu metode deduksi dan induksi.
Metode (cara) deduksi adalah cara berpikir yang bertitik tolak pada kesimpulan umum. Cara ini kadang disebut juga sebagai abstraksi, karena memang masih bersifat abstrak. Dalam kehidupan sehari-hari, pemikiran deduktif adalah pemikiran yang lebih berciri “keinginan” atau “cita-cita” untuk mendapatkan atau mewujudkan sesuatu.
Kenyataan teksnya memang menegaskan bahwa surat Al-Fãtihah mewakili suatu keinginan, atau harapan, atau cita-cita, yang dalam Al-Qurãn ketiga bentuk deduksi atau abstrasi itu tercakup dalam kata  shalãt dan juga du’ã (doa).[8] Karena itu tidak aneh bila surat Al-Fãtihah menjadi “surat wajib” alias bacaan pokok dalam (ritual) shalat.
Kebalikan dari abstraksi adalah ekspasiasi (expatiate), yaitu membahas sesuatu secara panjang lebar dan rinci. Dalam konteks Al-Qurãn, bila abstraksi diwakili surat Al-Fãtihah, maka surat-surat selainnya otomatis mewakili ekspasiasinya.
Dengan demikian, pengertian  Al-Fãtihah sebagai al-qurãnul-'azhïm adalah “Al-Qurãn dalam abstraksi”, atau “Al-Qurãn secara global”.
Demikianlah hasil kajian penulis. Sekali lagi, kelima nama tersebut pada dasarnya mempunyai pengertian yang sama, namun setiap nama agaknya memberi penekanan pada fungsi-fungsi tertentu dari surat ini.

Tempat penurunan surat Al-Fãtihah
Walau berbeda pendapat  dalam soal urutan penurunannya Para ahli sejarah Al-Qurãn sepakat bahwa surat Al-Fãtihah diturunkan di Makkah, dan merupakan surat pertama yang diturunkan secara utuh.
Sebab diturunkan secara utuh di Makah tentu bukan semata-mata karena surat ini ringkas. Alasan logisnya mengapa diturunkan di Makkah adalah karena – sesuai dengan nama-namanya di atas – surat ini mewakili abstraksi Al-Qurãn. Kemudian, bila dihubungkan dengan lokasi penurunnannya, jelas sekali bagi kita bahwa Makkah adalah tempat Rasulullah dilahirkan dan kemudian mengemban tugas da’wah.
Bila da’wah diumpakan sebagai pekerjaan bertani, Makkah adalah ibarat lahan persemaian Al-Qurãn, sedangkan penanaman yang sebenarnya baru (bisa) dilakukan di Yatsrib (Madinah).
Di Makkah lah Rasulullah bersama para pengikutnya menumbuhkan cita-cita dan harapan untuk hidup dengan Al-Qurãn, dan surat Al-Fãtihah adalah rumusan dari gejolak batin mereka itu.

Ikrar kaum beriman
Bila kita perhatikan susunan redaksinya, surat Al-Fãtihah adalah sebuah iqrãr (إقرار).
Bagi orang-orang Arab yang terbiasa berkelana (Badwi), iqrãr adalah pemilihan tempat tinggal. Selain itu, iqrãr juga berarti penegakan, landasan (fondasi), dan sebagainya. Pengertian yang populer dari kata iqrãr, adalah pernyataan, penegasan, korfirmasi, pengakuan, dan sebagainya. Pengertian yang terakhir inilah yang agaknya cocok dengan surat Al-Fãtihah.
Tapi, siapa gerangan yang melakukan iqrãr tersebut?
Surat ini dimulai dengan bismillãhirrahmãnirrahîm, yang dalam tinjauan nahwu merupakan kalimat yang tidak lengkap, karena tidak ada (maksudnya tidak tertulis dan terucap) subyeknya. Karena itu para ahli nahwu (sintaks; teori kalimat), berdasar logika nahwu tentu, mengatakan bahwa taqdîruhu (logikanya) subyek yang ‘hilang’ itu adalah ana (أنا), yaitu kata ganti (dhamîr) orang pertama (saya, aku).
Isa Bugis membantah rumusan para ahli nahwu itu, meski juga sama mengajukan ana sebagai pokok kalimat dalam bismillãhirrahmãnirrahîm. Dengan mengajukan teori muhãdatsah (percakapan), yakni bahwa Al-Qurãn pada hakikatnya adalah percakapan antara Allah dengan RasulNya, Isa Bugis mengatakan bahwa bismillãhirrahmãnirrahîm adalah jawaban (Rasulullah, mu’min) atas perintah iqra’ bismi-rabbika dalam wahyu pertama (surat Al-‘Alaq).
Terlalu bersemangat dengan suatu teori kadang membuat kita terperosok ke lubang subyektifisme, sehingga mengabaikan kenyataan yang sebenarnya menyolok mata. Bila teks surat Al-Fãtihah diperhatikan baik-baik, kita akan menemukan bahwa pokok kalimat yang dianggap hilang atau disembunyikan itu sebenarnya muncul pada ayat-ayat berikutnya, misalnya pada ayat 5 dan 6. Di situ jelas bahwa subyek (mubtada’) pada bismillãhirrahmãnirrahîm – dalam konteks surat Al-Fãtihah – adalah nahnu/نحن (kami; kita), bukan ana.
Jadi, yang menyatakan iqrãr (ikrar) itu adalah “kami”. Jelasnya siapa? Dari kata na’budu/نعبد dalam ayat 5 tersirat jawaban bahwa “kami” yang dimaksud adalah orang-orang yang menyatakan diri sebagai ãbidûn(a)/عابدون, para hamba Allah.
Dengan demikian, jelaslah bahwa surat Al-Fãtihah adalah ikrar (pernyataan, proklamasi, konfirmasi, dsb.) dari mereka yang mengaku para hamba Allah, untuk benar-benar menjadi hamba Allah sejati dengan cara menerapkan ajaran Allah di bawah bimbingan Rasulullah.
Bila kita perhatikan konteks sejarahnya, dengan menggarisbawahi bahwa surat ini turun setelah surat Al-‘Alaq yang menegaskan bahwa Allah adalah sumber ilmu; lalu surat Al-Qalam yang intinya adalah perbandingan antara ajaran Allah dengan ajaran-ajaran yang lain; lantas surat Al-Muz-zammil, yang menekankan keharusan melakukan intensifikasi studi Al-Qurãn; kemudian surat Al-Muddattsir yang mengasung kegiatan da’wah; maka kemunculan surat Al-Fãtihah pada urutan kelima (menurut salah satu versi asbabu-nuzul) jelas mengisyaratkan adanya prinsip penyampaian ilmu yang taktis dan strategis.
Kita dapat membayangkan bahwa – sampai pada penurunan surat Al-Fãtihah – Rasulullah telah menghimpun sejumlah orang, yang siap berikrar (dengan surat Al-Fãtihah sebagai teksnya) untuk menjadi para hamba Allah di bawah pimpinan beliau.
Selanjutnya, dengan landasan ayat 6 –  ihdinãsh-shirãthal-mustaqîm – yang ‘diasumsikan’ telah menjadi bagian internal mereka (Rasulullah dan para pengikutnya), maka Al-Qurãn sebagai ash-shirãthal-mustaqîm  itu terus diturunkan Allah untuk memenuhi hasrat mereka mendapatkan jalan hidup yang ‘lurus’, yang dulu pernah diturunkan Allah kepada para rasul sebelum Nabi Muhammad.
Satu segi, pemaparan di atas diharapkan dapat memberikan gambaran bahwa harapan atau cita-cita (= doa) kaum beriman hendaknya ditabur atau ditanam di atas lahan yang memang disediakan Allah, sehingga terkabulnya harapan atau cita-cita itu adalah sebuah keniscayaan, bukan sebuah angan-angan.
Segi lain, manusia harus mengakui kelemahan dirinya, yang sebenarnya tidak mampu mengetahui dengan pasti tentang apa yang layak dan tidak layak untuk diharapkan atau dicita-citakan. Sejarah Rasulullah dengan para pengikut awalnya memberi gambaran bahwa Allah mengajarkan apa yang layak dan tidak layak itu, sehingga ketika mereka meminta apa yang dinyatakan layak, maka sudah barang tentu Allah pun mengabulkan permintaan mereka.
Sebaliknya kita, dalam keadaan yang terus didera kesulitan dan bencana, kita lihat berulang-ulang para kiai dan tokoh agama memimpin upaca  istighatsah, tapi Allah seperti tidak mau tahu rintihan dan isak tangis mereka. Mengapa?
Silakan temukan jawabannya sendiri.∆


[1] مفتاح الصلاة الوضوء وتحريمها التكبير وتحليلها السلام
[2] لا صلاة لمن لم بقرأ بفاتحة الكتاب
[3] قال رسول الله صلى الله عليه و سلم: الحمد لله رب العالمين أم القرءان وأم الكتاب والسبع المثانى والقرءان العظيم
[4] Ar-Risalah, hal. 39, terj. Ahmadie Thaha, eisi pertama, Pustaka Firdaus, Jakarta, Maret 1986.
[5] Microsoft Encarta Encyclopedia 1997.
[6] Seperti dikutip Dr. George Sarton dalam  The Incubation Of Western Culture In The Middle East, yang diterjemahkan Moh. Ridlwan Assegaf dari versi bahasa Arabnya, menjadi Barat, Timur, dan Islam,  hal. 33, cetakan kedua, Pustaka Progressif, Surabaya, 1989.
[7]Surat Al-A’la ayat 18-19.
[8]Rasulullah menegaskan bahwa sha-lat dan du’a adalah muradif (sino-nim).

Saturday, January 16, 2010

Istilah-istilah Penting Dalam Ilmu

Saya mengajukan tulisan ini bukan untuk menggurui siapa pun. Lagipula, saya percaya kebanyakan dari anda sudah tahu pengertian istilah-istilah dalam tulisan di bawah ini.
Saya mengajukannya, pertama, hanya sebagai usaha untuk menjembatani perbedaan pandangan kita, karena kita - mungkin - bergerak dari titik keberangkatan yang berbeda. Kedua, untuk menegaskan kembali bahwa saya memandang Al-Quran sebagai sebuah ilmu.

Epistemologi: teori (tentang) ilmu
Epistemology (Ind.: epistemologi), dibentuk dari bahasa Yunani, episteme yang berarti pengetahuan atau ilmu, dan logy (dari logos), yang juga berarti ilmu atau teori. Jadi, epistemology berarti “teori (tentang) pengetahuan/ilmu”. Dalam bahasa Inggris disebut the theory of knowledge.
Epistemologi adalah istilah filsafat, dan filsafat dalam peradaban Barat dianggap sebagai induk atau ‘batang pohon’ ilmu. Epistemologi adalah salah satu anak atau cabang filsafat (branch of philosophy).
Epistemologi atau “teori ilmu” dikatakan sebagai cabang filsafat yang membahas sifat (nature) dan ruang lingkup (scope) atau batasan-batasan (limitations) pengetahuan. Ia menjawab pertanyaan-pertanyaan:

- Apa itu pengetahuan (what is knowledge)?
- Bagaimana pengetahuan didapat (how knowledge acquired)?
- Apa sebenarnya yang diketahui manusia (what do people know)?
- Bagaimana kita mengetahui yang kita ketahui (how we know what we know)?

Banyak perdebatan dalam epistemologi berpusat pada analisis (uraian, pembahasan) tentang pengetahuan dan hubungannya dengan gagasan-gagasan yang sama seperti kebenaran (truth), kepercayaan (belief) dan pembenaran atau pengakuan tentang kebenaran seuatu (justification).
Selain itu, epistemologi juga membahas cara menghasilkan pengetahuan, dan keraguan tentang klaim-klaim (pengakuan) tentang pengetahuan yang berbeda.
Istilah ini diperkenalkan ke masyarakat berbahasa Inggris oleh filsuf Skotlandia, James Frederick Ferrier (1808-1864).

Metodologi
Methodology bisa berarti:
1. Uraian dasar-dasar dari metode-metode, peraturan-peraturan, dan dalil-dalil yang digunakan dalam sebuah disiplin (discipline) atau cabang ilmu tertentu.
2. Kajian sistematik atas metode-metode yang diterapkan, bisa diterapkan, atau sudah diterapkan dalam sebuah disiplin (cabang ilmu).
3. Sebuah prosedur khusus atau tatanan prosedur-prosedur.

Metode ilmu
Metode ilmu (scientific method) adalah serangkaian tindakan yang dilakukan untuk mendapatkan ilmu (a series of steps taken to acquire knowledge).

Posedur

Prosedur adalah rangkaian kerja atau tindakan-tindakan tertentu yang harus dilakukan dengan cara yang sama supaya bisa selalu mendapatkan hasil yang sama dalam keadaan yang sama. Dalam perkataan lain yang tidak bisa disebut jitu, prosedur bisa mengisyaratkan sebuah runtunan (sequence) dari kegiatan-kegiatan (activities), tugas-tugas (tasks), langkah-langkah (steps), keputusan-keputusan (decisions), perhitungan-perhitungan (calculations) dan tahapan-tahapan (processes), yang bila dilaksanakan dalam runtunan yang ditunjukkan dapat membuahkan hasil, produk (barang), atau dampak seperti yang sudah digambarkan.
Sebuah prosedur biasanya mempengaruhi perubahan-perubahan. Itulah yang berlaku dalam metode keilmuan.
Dalam kalimat singkat, prosedur adalah cara tertentu untuk melaksanakan sebuah tugas (a particular method for performing a task).

Demikian terbaca dalam ensiklopedia online Wikipedia.

Sunday, January 3, 2010

Lebih jauh tentang ilmu



            Orang Indonesia biasa menerjemahkan ilmu menjadi pengetahuan. Tapi, tidak semua pengetahuan bisa disebut ilmu.
            Bangsa Indonesia menerima istilah dan pengertian ilmu pada mulanya dari bangsa Arab yang menyebarkan agama Islam. Tapi pandangan bangsa Arab tentang ilmu agaknya tidak mereka ambil dari Islam (Al-Qurãn).
            Pandangan bangsa Arab tentang ilmu dirumuskan dalam pepatah mereka yang berbunyi: al-’ilmu nûrun fil-qalbi (العلم نور فى القلب). Pandangan ini diajarkan di berbagai pesantren dan madrasah, dan diterjemahkan menjadi: ilmu adalah cahaya (dalam) hati.
            Jadi, bangsa Arab mengumpamakan ilmu sebagai cahaya, yang berperan menerangi al-qalbu (= akal; pikiran; batin; jiwa). Pandangan ini mengandung kebenaran; tapi sayangnya tidak lengkap. Tentu saja benar bahwa ilmu menjadi cahaya atau penerang bagi kalbu, tapi mereka  tidak menjelaskan dari mana datangnya cahaya itu; apakah datang dari luar atau timbul begitu saja dalam pikiran (= otak) manusia.
            Karena tidak jelas disebutkan dari mana sumber ‘cahaya’ itu, maka pandangan bangsa Arab tentang ilmu tersebut, bisa dikatakan memiliki kesamaan dengan pandangan salah satu ahli filsafat Yunani, yaitu Plato atau Platon (427-347 sbM).
            Sesuatu yang terdapat dalam ‘hati’ disebut Plato sebagai idea, yang merupakan bawaan manusia sejak lahirnya dari alam idea (ide). Dengan kata lain, manusia lahir ke dunia dengan membawa kenangan tentang segala sesuatu yang pernah diketahuinya di alam idea. Dengan idea (= kenangan) itu lah, kata Plato, manusia mengenali segala sesuatu yang ada dalam kehidupan di dunia ini, yang disebutnya sebagai bayangan idea. Lebih lanjut, menurut ajaran Plato, karena apa yang ada di dunia ini hanya bayangan idea, maka keadaannya tidak sesempurna seperti aslinya. Kuda yang kita lihat, misalnya, tidak sesempurna kuda yang sebenarnya, yang ada di alam idea. Bagi Plato, segala yang kita saksikan di dunia ini adalah kenyataan semu. Dalam kajian ilmu filsafat, ajaran Plato itu dikenal sebagai aliran filsafat idealisme, dan ia memang pelopor dalam aliran tersebut.
            Ajaran Plato mengajak manusia lari ke alam idea alias lamunan. Melalui ajarannya itu, Plato mempengaruhi para penganut filsafatnya untuk menjauhi segala hal yang bersifat duniawi.
            Pengaruh ajaran Plato diperluas melalui agama Kristen, khususnya melalui orang Mesir bernama Plotinus (205-270 M), tokoh terbesar dalam aliran Neo-Platonisme (ajaran Plato versi baru), yang juga menjadi perintis bagi lahirnya filsafat Kristen yang disebut filsafat  Scholastik. Kemudian, tokoh besar yang dianggap orang suci  (santo atau saint) dalam filsafat Kristen tersebut adalah Santo Agustinus (354-430 M). Dialah yang menulis 22 jilid buku yang menguraikan tentang dua kerajaan, yaitu Kerajaan Tuhan (Civitas Dei) yang ada di atas sana (sorga), dan Kerajaan Iblis (Civitas Diaboli) yang ada di dunia ini. Tapi di dunia ini juga ada wakil Kerajaan Tuhan, yaitu Gereja; tepatnya Gereja Katolik yang kini ada di Vatikan, Italia.
            Karena pandangan filsafat demikian itu, agama Kristen membagi kehidupan menjadi (1) urusan agama (yaitu Gereja), dan (2) urusan dunia.  Urusan agama kadang disebut sebagai urusan spiritual, dan sebaliknya urusan dunia disebut sebagai urusan sekular (harfiah berarti duniawi).
            Orang Kristen asli beranggapan bahwa kerajaan mereka bukan terletak di dunia ini, sehingga mereka pun tidak mau terlibat dalam urusan politik[1] (yang tentu merupakan urusan Kerajaan Setan).
            Ajaran Plato itu belakangan juga mempengaruhi orang-orang Islam, khususnya para ahli ilmu kalam dan kaum sufi. Achmad Roestandi SH menulis demikian:

... faktor-faktor extern itu ialah masuknya filsafat Yunani ke alam Islam. Dengan kata lain, filsafat Islam itu mulai tumbuh subur dan mendalam setelah cendekiawan Islam berkenalan dengan filsafat Yunani. Seperti halnya dengan filusuf-filusuf scholastik, filusuf-filusuf Islam pun terpengaruh oleh ajaran-ajaran para filsuf Yunani, dan kelanjutannya mereka pun menjalinkan ayat-ayat Qur’an tertentu dengan ajaran-ajaran filusuf Yunani tersebut.[2]

            Satu hal yang perlu dicatat, dari kaum sufi, misalnya,  lahir pandangan bahwa dunia adalah penjara bagi orang beriman dan sorga bagi orang kafir. Suatu pandangan yang sangat dipengaruhi oleh konsep Agustinus tentang Kerajaan Tuhan (sorga) dan Kerajaan Iblis (dunia).
            Pandangan tersebut tentu sangat menguntungkan para penjajah. Ketika para penjajah berduyun-duyun datang ke berbagai negara Muslim, kaum mislimin hanya bersikap pasif dan menyingkir saja; karena para penjajah itu hanya datang untuk mengambil segala sesuatu yang bersifat duniawi, yang memang merupakan hak mereka di dunia ini, bukan hak orang-orang beriman. Memang kaum sufi moderen telah membantah keras tentang kebenaran ajaran tasauf yang demikian; tapi fakta tetaplah fakta. Yakni, ada satu masa yang begitu panjang, tak lama sejak berakhirnya masa Nabi dan para Khalifah, umat Islam amblas ke dalam kehinaan, dan belum bangkit sampai sekarang, karena para cendekiawan (ulama) mereka terpesona oleh filsafat Barat (Yunani), dan meninggalkan Al-Qurãn.
            Ternyata pula, kedatangan para penjajah ke negara-negara Muslim bukan hanya untuk mengeruk kekayaan alam, tapi juga untuk mengukuhkan pengaruh filsafat Yunani itu, baik melalui Kristenisme yang bermuatan Neo-Platonisme Plotinus-Agustinus, maupun melalui sains (science) yang bermuatan filsafat materialisme atau naturalisme.
            Karena pengaruh yang belakangan itulah, pengertian (konsep) ilmu digambarkan (didefinisikan) dengan konsep sains yang berpangkal pada materialisme/naturalisme. Isa Bugis, dalam salah satu diktatnya menyebutkan satu contoh definisi tentang ilmu yang diambil dari Barat, yaitu: Science is organized body of principles supported by facts. (Ilmu ialah rangkaian keterangan teratur dalam keseluruhan yang didukung oleh faktanya).[3]
            Menurut Isa Bugis, definisi ilmu yang demikian itu adalah hasil dari pengaruh filsafat Idealisme dan Naturalisme yang melahirkan “kesadaran terkatung-katung” (tidak mantap), sebagai hasil dari hubungan manusia dengan alam sekitarnya, yang menjadi obyek studi (pengkajian).
            Definisi yang lain science, dikatakan dalam sebuah kamus sebagai: knowledge arranged in an orderly manner, esp knowledge obtained by observation and testing of facts.[4] (Pengetahuan yang dirangkai secara teratur, terutama pengetahuan yang diperoleh melalui penelitian dan pengujian fakta-fakta).
            Menurut tinjauan Isa Bugis definisi tersebut mengandung kelemahan mendasar. Pertama, di sana dikatakan bahwa ilmu adalah hasil usaha manusia setelah mengamati alam. Tapi, manusia tidak mungkin mengenali alam sebelum ada pengetahuan lebih dulu. Dari mana asal pengetahuan itu? Isa Bugis menegaskan bahwa pengetahuan awal (untuk mengenali alam) itu berasal dari Allah. Kedua, bila di sana disebutkan fakta, yakni berbagai benda yang menjadi obyek kajian ilmu, siapa yang mengadakan benda-benda itu? Isa Bugis kembali menegaskan bahwa semua benda yang mereka kaji itu adalah ciptaan Allah, yang juga terikat oleh sunnatullah (hukum alam).
            Kemudian, dengan mengajukan surat Ar-Rahmãn ayat 1-13, Isa Bugis menegaskan bahwa ilmu yang sebenarnya, yang berasal dari Allah (untuk masa sekarang) adalah Al-Qurãn.[5] Dengan demikian ia mengoreksi definisi tersebut menjadi: Ilmu ialah rangkaian keterangan teratur dari Allah menurut Sunnah Rasul terhadap semesta kenyataan yang tergantung kepada Allah.[6]



[1] Ilmu Filsafat Agama, Achmad Roestandi SH, hal. 43-47, Yayasan Lembaga Pengarang & Penerbit Universitas Islam Nusantara, Bandung,
[2] Idem note 4, hal. 50-51.
[3] Idul Fitri: Kembali Hidup Menurut Sistem Zakat, hal. 26, cetakan ke-III, Jakarta, Mei 1978.
[4] Oxford Advanced Learner’s Dictionary Of Current English, AS Horby with AP Cowie & AC Gimson, Oxford University Press 1974.
[5] Untuk masa-masa sebelum Al-Qurãn, ilmu yang benar itu terdapat pada kitab-kitab Allah yang lain (Zabur, Taurat, Injil, dsb.).
[6] Idul Fitri: Kembali Hidup Menurut Sistem Zakat, hal. 31.

Followers