Bagaikan tali...

Menurut Rasulullah saw (dalam hadis riwayat Al-Bazar dan Ath-thabrani), Al-Qurãn itu ibarat tali, yang satu ujungnya di tangan kita dan ujung lainnya di 'tangan' Allah. Dengan kata lain, Al-Qurãn adalah alat komunikasi kita dengan Allah. Bahkan saya sering mengatakan bahwa Al-Qurãn adalah satu-satunya wakil Allah di bumi.

عن جبير ابن مطعم رضي الله عنه قال: قال رسول الله صلى الله عليه و سلم
أبشروا فإنّ هذا القرآن طرفه بيدالله وطرفه بيدكم فتمسّكوابه فإنكم لم
تهلكوا ولا تضلّوا بعد أبدا (البزر والطبرنى)


Saturday, January 16, 2010

Istilah-istilah Penting Dalam Ilmu

Saya mengajukan tulisan ini bukan untuk menggurui siapa pun. Lagipula, saya percaya kebanyakan dari anda sudah tahu pengertian istilah-istilah dalam tulisan di bawah ini.
Saya mengajukannya, pertama, hanya sebagai usaha untuk menjembatani perbedaan pandangan kita, karena kita - mungkin - bergerak dari titik keberangkatan yang berbeda. Kedua, untuk menegaskan kembali bahwa saya memandang Al-Quran sebagai sebuah ilmu.

Epistemologi: teori (tentang) ilmu
Epistemology (Ind.: epistemologi), dibentuk dari bahasa Yunani, episteme yang berarti pengetahuan atau ilmu, dan logy (dari logos), yang juga berarti ilmu atau teori. Jadi, epistemology berarti “teori (tentang) pengetahuan/ilmu”. Dalam bahasa Inggris disebut the theory of knowledge.
Epistemologi adalah istilah filsafat, dan filsafat dalam peradaban Barat dianggap sebagai induk atau ‘batang pohon’ ilmu. Epistemologi adalah salah satu anak atau cabang filsafat (branch of philosophy).
Epistemologi atau “teori ilmu” dikatakan sebagai cabang filsafat yang membahas sifat (nature) dan ruang lingkup (scope) atau batasan-batasan (limitations) pengetahuan. Ia menjawab pertanyaan-pertanyaan:

- Apa itu pengetahuan (what is knowledge)?
- Bagaimana pengetahuan didapat (how knowledge acquired)?
- Apa sebenarnya yang diketahui manusia (what do people know)?
- Bagaimana kita mengetahui yang kita ketahui (how we know what we know)?

Banyak perdebatan dalam epistemologi berpusat pada analisis (uraian, pembahasan) tentang pengetahuan dan hubungannya dengan gagasan-gagasan yang sama seperti kebenaran (truth), kepercayaan (belief) dan pembenaran atau pengakuan tentang kebenaran seuatu (justification).
Selain itu, epistemologi juga membahas cara menghasilkan pengetahuan, dan keraguan tentang klaim-klaim (pengakuan) tentang pengetahuan yang berbeda.
Istilah ini diperkenalkan ke masyarakat berbahasa Inggris oleh filsuf Skotlandia, James Frederick Ferrier (1808-1864).

Metodologi
Methodology bisa berarti:
1. Uraian dasar-dasar dari metode-metode, peraturan-peraturan, dan dalil-dalil yang digunakan dalam sebuah disiplin (discipline) atau cabang ilmu tertentu.
2. Kajian sistematik atas metode-metode yang diterapkan, bisa diterapkan, atau sudah diterapkan dalam sebuah disiplin (cabang ilmu).
3. Sebuah prosedur khusus atau tatanan prosedur-prosedur.

Metode ilmu
Metode ilmu (scientific method) adalah serangkaian tindakan yang dilakukan untuk mendapatkan ilmu (a series of steps taken to acquire knowledge).

Posedur

Prosedur adalah rangkaian kerja atau tindakan-tindakan tertentu yang harus dilakukan dengan cara yang sama supaya bisa selalu mendapatkan hasil yang sama dalam keadaan yang sama. Dalam perkataan lain yang tidak bisa disebut jitu, prosedur bisa mengisyaratkan sebuah runtunan (sequence) dari kegiatan-kegiatan (activities), tugas-tugas (tasks), langkah-langkah (steps), keputusan-keputusan (decisions), perhitungan-perhitungan (calculations) dan tahapan-tahapan (processes), yang bila dilaksanakan dalam runtunan yang ditunjukkan dapat membuahkan hasil, produk (barang), atau dampak seperti yang sudah digambarkan.
Sebuah prosedur biasanya mempengaruhi perubahan-perubahan. Itulah yang berlaku dalam metode keilmuan.
Dalam kalimat singkat, prosedur adalah cara tertentu untuk melaksanakan sebuah tugas (a particular method for performing a task).

Demikian terbaca dalam ensiklopedia online Wikipedia.

Sunday, January 3, 2010

Lebih jauh tentang ilmu



            Orang Indonesia biasa menerjemahkan ilmu menjadi pengetahuan. Tapi, tidak semua pengetahuan bisa disebut ilmu.
            Bangsa Indonesia menerima istilah dan pengertian ilmu pada mulanya dari bangsa Arab yang menyebarkan agama Islam. Tapi pandangan bangsa Arab tentang ilmu agaknya tidak mereka ambil dari Islam (Al-Qurãn).
            Pandangan bangsa Arab tentang ilmu dirumuskan dalam pepatah mereka yang berbunyi: al-’ilmu nûrun fil-qalbi (العلم نور فى القلب). Pandangan ini diajarkan di berbagai pesantren dan madrasah, dan diterjemahkan menjadi: ilmu adalah cahaya (dalam) hati.
            Jadi, bangsa Arab mengumpamakan ilmu sebagai cahaya, yang berperan menerangi al-qalbu (= akal; pikiran; batin; jiwa). Pandangan ini mengandung kebenaran; tapi sayangnya tidak lengkap. Tentu saja benar bahwa ilmu menjadi cahaya atau penerang bagi kalbu, tapi mereka  tidak menjelaskan dari mana datangnya cahaya itu; apakah datang dari luar atau timbul begitu saja dalam pikiran (= otak) manusia.
            Karena tidak jelas disebutkan dari mana sumber ‘cahaya’ itu, maka pandangan bangsa Arab tentang ilmu tersebut, bisa dikatakan memiliki kesamaan dengan pandangan salah satu ahli filsafat Yunani, yaitu Plato atau Platon (427-347 sbM).
            Sesuatu yang terdapat dalam ‘hati’ disebut Plato sebagai idea, yang merupakan bawaan manusia sejak lahirnya dari alam idea (ide). Dengan kata lain, manusia lahir ke dunia dengan membawa kenangan tentang segala sesuatu yang pernah diketahuinya di alam idea. Dengan idea (= kenangan) itu lah, kata Plato, manusia mengenali segala sesuatu yang ada dalam kehidupan di dunia ini, yang disebutnya sebagai bayangan idea. Lebih lanjut, menurut ajaran Plato, karena apa yang ada di dunia ini hanya bayangan idea, maka keadaannya tidak sesempurna seperti aslinya. Kuda yang kita lihat, misalnya, tidak sesempurna kuda yang sebenarnya, yang ada di alam idea. Bagi Plato, segala yang kita saksikan di dunia ini adalah kenyataan semu. Dalam kajian ilmu filsafat, ajaran Plato itu dikenal sebagai aliran filsafat idealisme, dan ia memang pelopor dalam aliran tersebut.
            Ajaran Plato mengajak manusia lari ke alam idea alias lamunan. Melalui ajarannya itu, Plato mempengaruhi para penganut filsafatnya untuk menjauhi segala hal yang bersifat duniawi.
            Pengaruh ajaran Plato diperluas melalui agama Kristen, khususnya melalui orang Mesir bernama Plotinus (205-270 M), tokoh terbesar dalam aliran Neo-Platonisme (ajaran Plato versi baru), yang juga menjadi perintis bagi lahirnya filsafat Kristen yang disebut filsafat  Scholastik. Kemudian, tokoh besar yang dianggap orang suci  (santo atau saint) dalam filsafat Kristen tersebut adalah Santo Agustinus (354-430 M). Dialah yang menulis 22 jilid buku yang menguraikan tentang dua kerajaan, yaitu Kerajaan Tuhan (Civitas Dei) yang ada di atas sana (sorga), dan Kerajaan Iblis (Civitas Diaboli) yang ada di dunia ini. Tapi di dunia ini juga ada wakil Kerajaan Tuhan, yaitu Gereja; tepatnya Gereja Katolik yang kini ada di Vatikan, Italia.
            Karena pandangan filsafat demikian itu, agama Kristen membagi kehidupan menjadi (1) urusan agama (yaitu Gereja), dan (2) urusan dunia.  Urusan agama kadang disebut sebagai urusan spiritual, dan sebaliknya urusan dunia disebut sebagai urusan sekular (harfiah berarti duniawi).
            Orang Kristen asli beranggapan bahwa kerajaan mereka bukan terletak di dunia ini, sehingga mereka pun tidak mau terlibat dalam urusan politik[1] (yang tentu merupakan urusan Kerajaan Setan).
            Ajaran Plato itu belakangan juga mempengaruhi orang-orang Islam, khususnya para ahli ilmu kalam dan kaum sufi. Achmad Roestandi SH menulis demikian:

... faktor-faktor extern itu ialah masuknya filsafat Yunani ke alam Islam. Dengan kata lain, filsafat Islam itu mulai tumbuh subur dan mendalam setelah cendekiawan Islam berkenalan dengan filsafat Yunani. Seperti halnya dengan filusuf-filusuf scholastik, filusuf-filusuf Islam pun terpengaruh oleh ajaran-ajaran para filsuf Yunani, dan kelanjutannya mereka pun menjalinkan ayat-ayat Qur’an tertentu dengan ajaran-ajaran filusuf Yunani tersebut.[2]

            Satu hal yang perlu dicatat, dari kaum sufi, misalnya,  lahir pandangan bahwa dunia adalah penjara bagi orang beriman dan sorga bagi orang kafir. Suatu pandangan yang sangat dipengaruhi oleh konsep Agustinus tentang Kerajaan Tuhan (sorga) dan Kerajaan Iblis (dunia).
            Pandangan tersebut tentu sangat menguntungkan para penjajah. Ketika para penjajah berduyun-duyun datang ke berbagai negara Muslim, kaum mislimin hanya bersikap pasif dan menyingkir saja; karena para penjajah itu hanya datang untuk mengambil segala sesuatu yang bersifat duniawi, yang memang merupakan hak mereka di dunia ini, bukan hak orang-orang beriman. Memang kaum sufi moderen telah membantah keras tentang kebenaran ajaran tasauf yang demikian; tapi fakta tetaplah fakta. Yakni, ada satu masa yang begitu panjang, tak lama sejak berakhirnya masa Nabi dan para Khalifah, umat Islam amblas ke dalam kehinaan, dan belum bangkit sampai sekarang, karena para cendekiawan (ulama) mereka terpesona oleh filsafat Barat (Yunani), dan meninggalkan Al-Qurãn.
            Ternyata pula, kedatangan para penjajah ke negara-negara Muslim bukan hanya untuk mengeruk kekayaan alam, tapi juga untuk mengukuhkan pengaruh filsafat Yunani itu, baik melalui Kristenisme yang bermuatan Neo-Platonisme Plotinus-Agustinus, maupun melalui sains (science) yang bermuatan filsafat materialisme atau naturalisme.
            Karena pengaruh yang belakangan itulah, pengertian (konsep) ilmu digambarkan (didefinisikan) dengan konsep sains yang berpangkal pada materialisme/naturalisme. Isa Bugis, dalam salah satu diktatnya menyebutkan satu contoh definisi tentang ilmu yang diambil dari Barat, yaitu: Science is organized body of principles supported by facts. (Ilmu ialah rangkaian keterangan teratur dalam keseluruhan yang didukung oleh faktanya).[3]
            Menurut Isa Bugis, definisi ilmu yang demikian itu adalah hasil dari pengaruh filsafat Idealisme dan Naturalisme yang melahirkan “kesadaran terkatung-katung” (tidak mantap), sebagai hasil dari hubungan manusia dengan alam sekitarnya, yang menjadi obyek studi (pengkajian).
            Definisi yang lain science, dikatakan dalam sebuah kamus sebagai: knowledge arranged in an orderly manner, esp knowledge obtained by observation and testing of facts.[4] (Pengetahuan yang dirangkai secara teratur, terutama pengetahuan yang diperoleh melalui penelitian dan pengujian fakta-fakta).
            Menurut tinjauan Isa Bugis definisi tersebut mengandung kelemahan mendasar. Pertama, di sana dikatakan bahwa ilmu adalah hasil usaha manusia setelah mengamati alam. Tapi, manusia tidak mungkin mengenali alam sebelum ada pengetahuan lebih dulu. Dari mana asal pengetahuan itu? Isa Bugis menegaskan bahwa pengetahuan awal (untuk mengenali alam) itu berasal dari Allah. Kedua, bila di sana disebutkan fakta, yakni berbagai benda yang menjadi obyek kajian ilmu, siapa yang mengadakan benda-benda itu? Isa Bugis kembali menegaskan bahwa semua benda yang mereka kaji itu adalah ciptaan Allah, yang juga terikat oleh sunnatullah (hukum alam).
            Kemudian, dengan mengajukan surat Ar-Rahmãn ayat 1-13, Isa Bugis menegaskan bahwa ilmu yang sebenarnya, yang berasal dari Allah (untuk masa sekarang) adalah Al-Qurãn.[5] Dengan demikian ia mengoreksi definisi tersebut menjadi: Ilmu ialah rangkaian keterangan teratur dari Allah menurut Sunnah Rasul terhadap semesta kenyataan yang tergantung kepada Allah.[6]



[1] Ilmu Filsafat Agama, Achmad Roestandi SH, hal. 43-47, Yayasan Lembaga Pengarang & Penerbit Universitas Islam Nusantara, Bandung,
[2] Idem note 4, hal. 50-51.
[3] Idul Fitri: Kembali Hidup Menurut Sistem Zakat, hal. 26, cetakan ke-III, Jakarta, Mei 1978.
[4] Oxford Advanced Learner’s Dictionary Of Current English, AS Horby with AP Cowie & AC Gimson, Oxford University Press 1974.
[5] Untuk masa-masa sebelum Al-Qurãn, ilmu yang benar itu terdapat pada kitab-kitab Allah yang lain (Zabur, Taurat, Injil, dsb.).
[6] Idul Fitri: Kembali Hidup Menurut Sistem Zakat, hal. 31.

Followers