Bagaikan tali...

Menurut Rasulullah saw (dalam hadis riwayat Al-Bazar dan Ath-thabrani), Al-Qurãn itu ibarat tali, yang satu ujungnya di tangan kita dan ujung lainnya di 'tangan' Allah. Dengan kata lain, Al-Qurãn adalah alat komunikasi kita dengan Allah. Bahkan saya sering mengatakan bahwa Al-Qurãn adalah satu-satunya wakil Allah di bumi.

عن جبير ابن مطعم رضي الله عنه قال: قال رسول الله صلى الله عليه و سلم
أبشروا فإنّ هذا القرآن طرفه بيدالله وطرفه بيدكم فتمسّكوابه فإنكم لم
تهلكوا ولا تضلّوا بعد أبدا (البزر والطبرنى)


Sunday, December 20, 2009

Al-Qurãn Sebagai Ilmu

Ilmu tidak sama dengan pengetahuan. Juga bukan kumpulan pengetahuan, baik pengetahuan-pengetahuan yang terkumpul secara sembarangan maupun tertata secara rapi (sistematis). Ilmu adalah struktur sistematis (bangunan tertata rapi) dari sebuah konsep yang utuh dan lengkap. Karena itu, pada satu sisinya, ilmu bisa menjadi sebuah wawasan, bisa menjadi worldview (pandangan hidup) alias falsafah hidup (philosophy of life); dan, pada sisinya yang lain, bisa pula menjadi petunjuk atau pedoman hidup secara praktis (instruction; guidance). Bila hendak disebut pengetahuan juga, ilmu – pada satu sisinya – adalah “pengetahuan yang membentuk dan atau membuka wawasan”, dan – pada sisinya yang lain – adalah “pengetahuan yang membimbing manusia berjalan ke satu arah, untuk mencapai tujuan tertentu”. Setidaknya, begitulah cara saya memandang Al-Qurãn sebagai (sebuah) ilmu. Jelasnya, (1) Al-Qurãn – pada satu sisinya - adalah pembentuk dan atau pembuka wawasan; dan (2) Al-Qurãn – pada sisi lainnya – adalah pembimbing manusia untuk berjalan ke satu arah, demi mencapai sebuah tujuan tertentu. Pendeknya, Al-Qurãn menawarkan sebuah wawasan, dan sebuah tujuan tertentu. Hal itu terungkap melalui, antara lain, surat Al-Isra/17 ayat 9-11): "Sungguh Al-Quran ini mengarahkan (manusia) menuju (bentuk kehidupan) yg amat kokoh, dan menyemangati para mu'min - yakni mereka yg berbuat tepat menurutnya - dengan kabar gembira bahwa mereka pasti mendapat hasil terbaik; seraya (mengancam) bahwa mereka yg tidak mau hidup mencapai tujuan akhir dengannya bahwa mereka pastilah merasakan derita hidup yg amat pedih. "Tapi, terus saja menusia mempropagandakan da'wah mereka yang buruk dengan anggapan bahwa da'wah mereka itulah yang terbaik. Begitulah memang sifat manusia, selalu tergesa-gesa (membenarkan idenya)!"

Friday, December 4, 2009

Al-Qurãn Konsep Budaya?


Dalam tulisan sebelum ini saya menyebut Al-Qurãn sebagai konsep budaya.

Istilah budaya saya gunakan untuk menyebut (menyingkat) kebudayaan.

Dan kebudayaan – katakanlah secara gampangan (simplicity) – saya anggap sama dengan peradaban.

Dengan demikian, pertanyaan ‘apakah Al-Qurãn merupakan konsep budaya?’ bisa saya jawab dengan mudah, misalnya dengan mengajukan buku (tesis) Huntington yang terkenal itu: The Clash of Civilizations and the Remaking of the World Order (Benturan Antarperadaban dan Penataan Ulang Dunia).

Dalam bukunya itu, jelas sekali Huntington menyebut Islam sebagai salah satu bentuk peradaban di samping peradaban-peradaban lainnya. Bahkan menjadi semakin jelas lagi manakala ia menganggap Islam sebagai salah satu saingan berat bagi peradaban Barat.

Tapi, bila Islam adalah sebuah peradaban, lalu konsep apa yang menjadi sumber ide peradaban itu?

Jawabannya adalah: Al-Qurãn!

Jadi, sekali lagi, Al-Qurãn adalah sebuah konsep peradaban.

Max I. Dimont – dalam bukunya yang berjudul Jews, God, And History – mengklaim bahwa peradaban Barat, ibarat rumah, perabotannya berasal dari Yunani, tapi rumahnya adalah milik Yahudi. (… the furniture in the Western world is Grecian, but the house in which Western man dwells is Jewish).

Jelasnya, yang disebut Max I. Dimont sebagai perabotan rumah (furniture) Yunani itu adalah literatur, sains, dan arsitektur. Sedangkan rumahnya (the house) adalah spirit, moral, etika, dan akar-akar ideologi yang bersumber dari Yahudi.

Dalam konteks peradaban Islam, dengan sedikit membeo kepada Max I. Dimont, bisa dikatakan bahwa spirit, moral, etika, dan akar-akar ideologi Islam bersumber dari Al-Qurãn!
Dan,  Al-Qurãn pula lah yang telah menyebabkan bangsa Arab melahirkan begitu banyak literatur, menjadi pionir dalam sejumlah temuan dasar sains dan teknologi, dan membuat bangunan-bangunan khas yang keunggulan arsitekturnya masih dikagumi sampai sekarang.

Allah Tidak Hanya Mengajarkan Teori



Allah, ‘ãlimul-ghaib wa- syahãdah

Dalam banyak surat Al-Quran kita temukan penegasan bahwa Allah itu ‘ãlimul-ghaib wa syahãdah (عالم الغيب و الشهادة).

Yang pertama perlu ditegaskan di sini adalah pengertian kata ‘ãlimun, apakah berarti mengetahui atau pemberi tahu (pengajar ilmu)?

Bila kita lacak teori sharaf, ‘ãlimun jelas berbentuk isim fa’il, berpola (فاعل). Bentuk katakerjanya adalah ‘alima (fi’l madhi, kata kerja lampau) dan ya’lamu (mudhari’; kata kerja sekarang dan yang akan datang). Jadi, polanya adalah fa’ila-yaf’alu.

Dalam teori sharaf dikatakan bahwa fi’il yang berpola fa’ila-yaf’alu sebagian merupakan katakerja (1) lãzim (tak berobyek), sebagian (2) muta’addi (berobyek).

Contoh yang lãzim: fariha (gembira), ‘ajiba (heran), salima (selamat).

Contoh yang muta’addi: lazima (memegang), syahida (melihat, menonton).

Lantas, ‘alima masuk ke mana?

Cara lain untuk mengetahui apakah sebuah fi’il itu lãzim atau muta’addi adalah dengan melihat isim fã’il, isim alat dan isim maf’ul-nya. Bila ada isim fã’il, isim alat dan isim maf’ul-nya, berarti muta’addi. Bila tidak, berarti lãzim.

Bila demikian halnya, pertanyaan di atas itu bisa dijawab secara pasti. ‘alima adalah fi’l muta’addi, karena di dalam Al-Qurãn kita bisa berkali-kali menemukan bentuk isim fã’il-nya.

Selain itu, bentuk maf’ulnya juga sering kita gunakan dalam kehidupan sehari-hari, yaitu ma’lum (diketahui, dikenal).

Tapi, kita juga sering menggunakan istilah alïm, untuk menyebut “orang yang memiliki ilmu” atau “pemilik ilmu”. Kata alïm (عليم), yang berpola fa’ïl (فعيل) jelas mengisyaratkan bahwa kata kerjanya (‘alima) tidak berobyek

Kesimpulannya, ternyata kata ‘alima bisa menjadi fi’l lãzim dan bisa pula muta’addi. Penentunya adalah posisinya dalam kalimat.

Pembahasan ini penting, untuk menjawab rasa penasaran mereka yang menganggap teori sharaf (morfolofi) sebagai salah satu penentu pengertian, sehingga tidak boleh diabaikan.

Bagi saya sudah cukup jelas bahwa Allah yang ‘ãlim (عالم) atau alïm (عليم) itu menyerahkan kepada kita suatu ma’lumat yang berarti informasi, pemberitahuan, berita, data, dsb., dalam bentuk nyata berupa Al-Qurãn. Dalam konteks inilah saya terjemahkan ãlimul-ghaib (عالم الغيب) menjadi: pengajar Al-Quran. Yakni pengajar satu teori atau konsep budaya.
Dengan demikian, terjemahan bagi sambungannya, (‘ãlimu)-syahãdah (الشهادة [عالم] ) adalah: pengajar praktik atau penerapan, yakni praktik atau penerapan Al-Qurãn.

Dengan kata lain, Allah adalah pengajar konsep dan sekaligus pembimbing bagaimana konsep itu bisa diterapkan.


Thursday, December 3, 2009

Al-Ghaib dan asy-syahãdah



Al-Quran sebagai ilmu, juga mempunyai aspek teoritis yang disebut al-ghaibu (ghaib) dan aspek praktis, yang disebut asy-syahãdah (syahadah).

Persamaan kata al-ghaib antara lain adalah as-sirr, al-mustatir, al-bãthin, dll. Dalam konteks ilmu, al-ghaib adalah al-ma’nawiyy (المعنويّ)

Al-ghaib bukanlah sesuatu yang tidak ada, tapi ia adalah “sesuatu yang tidak teraba dan tidak terlihat”, karena terdapat di tempat yang jauh (بعُد عنه و باينهُ) dan/atau tersembunyi, atau karena ia adalah sebuah pemikiran atau gagasan (idea), sesuatu yang hanya bersifat makna (maknawi).

Kebalikan dari al-ghaib adalah asy-syahãdah. Dalam definisi kamus Al-Munjid, asy-syahãdah adalah عالَم الاكوان الظاهرة ويقابله عالَم الغيب(segala alam [benda] yang nampak, sebagai kebalikan dari alam gaib).

Dalam konteks ilmu dan manusia yang mempelajarinya, asy-syahãdah adalah proses atau praktik penjelamaan al-ghaib (ilmu, teori) menjadi sesuatu yang kasat mata alias musyãhad (مشاهَد ), alias kenyataan.

Sesuatu yang kasat (terlihat) mata itu bisa berupa bangunan fisik, yang dalam bahasa Arab disebut binã’un (بناء) atau bun-yãnun (بنيان). Tapi bila merujuk kata Nabi: buniya-l-Islãmu ‘ala khamsin (بُني الإسلام على خمس), dan kata Allah dalam surat Ash-Shaff: إنّ الله يحب الذين يقاتلون فى سبيل الله صفا كأنهم بنيان مرصوص , maka binã’un (بناء) atau bun-yãnun (بنيان) itu juga mencakup bangunan non-fisik, yakni seperti lembaga atau organisasi.

Lebih konkret, al-ghaib itu dalam Al-Quran juga disebut dengan istilah ãyãt (آيات), yaitu ayat qauliyah (= firman), yang kini tertulis dalam mushhaf. Pasangannya adalah liqã’ihi (لقائه), yakni perwujudannya. Untuk lebih jelasnya, perhatikanlah ayat-ayat berikut ini:

- قل هل نُنبّئُكم بالأخسرين أعمالا - الذين ضلّ سَعيُهم فى الحيوة الدنيا و هم يحسبون أنهم يُحسنون صُنعا - ألائك الذين كفروا بآيات ربهم و لقائه فحبِطت أعمالُهم فلا يقيم لهم يوم القيامة وزنا - ذالك جزاؤهم جهنّمُ بما كفروا واتّخذوا آياتى ورسلى هُزُوا - إنّ الذين آمنوا وعملواالصالحات كانت لهم جناتُ الفردوس نُزلا. (الكهف: 103-107)

Tawarkan kepada mereka (Yahudi), “Maukah kalian kami beritahu tentang orang-orang yang bangkrut karena perilaku mereka?”
Mereka adalah orang-orang yang dalam hidup di dunia ini bertindak menyimpang (dari ajaran Allah), tapi mereka beranggapan bahwa mereka sedang membangun (ajaran Allah) dengan sebaik-baiknya.

Mereka mengingkari ayat-ayat (konsep) Allah dan perwu-judannya. Maka putuslah segala usaha mereka (tidak ‘nyambung’ dengan harapan), sehingga ketiba tiba saat tegaknya ajaran Allah (yaumul-qiyamah), mereka tak layak dipertimbangkan.

Jahanamlah ganjaran yang layak bagi mereka, karena mereka memperlakukan ayat-ayatku yang disampaikan para rasulku sebagai permainan.

Sedangkan bagi para mu’min yang berbuat tepat (sesuai petunjuk Allah), tersedia jannatul-firdaus sebagai tempat tinggal. (Al-Kahfi/18: 103-107)

Di sini ditegaskan bahwa آيات dan لقائه (pada ayat-ayat lain لقاءنا dan sebagainya) adalah dua aspek yang tak terpisahkan. Satu segi, ãyãt (harfiah berarti tanda, alamat, gambaran) adalah ibarat bayangan benda dalam cermin; sedangkan liqã’ihi adalah benda yang sebenarnya. Bagi para mu’min, ‘bayangan benda’ itu terlihat nyata melalui aspek metode dan sistematika ilmu (Al-Quran), dan bendanya terlihat nyata melalui aspek analitika dan obyektivita. Sementara mereka yang kafir melakukan dua tindakan bodoh, yaitu berusaha mengaburkan cermin (merusak metode dan sistematika ilmu), dan menyingkirkan bendanya itu sendiri (membuat ilmu tak kenal analitika dan obyektivita).

Ini juga merupakan ungkapan bagi kaum idealis (Platonis), yang lebih menyukai gagasan yang tidak ‘nyambung’ dengan kenyataan. Karena berkhayal adalah kegemaran mereka.

Dua Sisi Ilmu


Ilmu dan resep masakan

Setiap ilmu yang benar, pasti mempunyai dua sisi (aspek), yaitu sisi teoritis (qauliyah) dan sisi praktis (fi’liyah), yang satu sama lain tidak bisa dipisahkan.

Sisi teoritisnya terbagi menjadi dua, yaitu: (1) metode, dan (2) sistematika.

Yang pertama, metode, mencakup hal-ihwal prosedur atau cara pencapaian atau perumusan suatu ilmu (scientific approach).

Yang kedua, sistematika, berkaitan dengan teknik penyampaian, atau cara penyusunan suatu ilmu, sehingga menjadi suatu rangkaian keterangan yang dapat dipahami. Lebih baik lagi bila rangkaian keterangan itu dapat dipahami dengan mudah.

Sisi praktisnya juga terbagi menjadi dua, yaitu: (1) analitika, dan (2) obyektivita.

Analitika berkaitan dengan pendataan atau pengumpulan data (bukti) dari segala yang disebutkan dalam suatu teori.

Obyektivita berhubungan dengan pencocokan antara teori dan data, sehingga bila teorinya menyebut suatu bangunan, misalnya, maka pembangunan ulang (rekonstruksi) pun bisa dilakukan.

Gambaran sederhana dari dua sisi ilmu itu bisa didapat dengan mengambil resep masakan sebagai perumpamaan (analogi). Dalam hal ini, metode mencakup nama masakan dan cara memasaknya. Sedangkan uraiannya dari A sampai Z, itulah sistematika. Ketika sang juru masak pergi ke pasar untuk mencari segala bahan dan alat yang dibutuhkan untuk mencoba sebuah resep, berarti ia melakukan analitika. Setelah itu, ketika ia mempraktikkan resep itu di dapur, berarti ia sedang melakukan obyektivita. Bila si juru masak bekerja dengan cermat, dan hasilnya ternyata bagus, berarti resep itu memang sebuah resep yang benar (obyektif). Tapi, bila sudah diterapkan dengan teliti tapi hasilnya buruk, tidak sesuai dengan yang dijanjikan, berarti resep tersebut tidak benar.

Sebaliknya, sebuah resep yang benar, bila tidak diterapkan secara berdisiplin, hasilnya juga pasti tidak sesuai dengan yang digambarkan.

Wednesday, December 2, 2009

Hipotesis Atau Asumsi Saya Tentang Al-Qurãn


Mengingat bahwa saya sudah pernah 'ngaji' seperti yang saya sebutkan sebelum ini, maka bolehlah saya mengatakan bahwa saya sudah punya hipotesis (hypotheses) atau "pijakan awal untuk memandang" Al-Qurãn.

Tapi bila istilah hipotesis mungkin terlalu berbau ilmiah, turunkan saja ia menjadi asumsi (dugaan, perkiraan; anggapan).

Meskipun demikian, baik hipotesis atau asumsi, keduanya sebenarnya sama saja. Sama-sama hanya akan menjadi omong kosong bila tidak ditindaklanjuti dengan kegiatan pengkajian alias studi.

Al-Qurãn adalah ilmu

Ini asumsi dasar saya.

Pijakannya adalah, pertama, kata ilmu sendiri adalah istilah Qurãni. Kedua, dalam Al-Qurãn bisa kita temukan begitu banyak kata yang punya kaitan morfologis dengan istilah ilmu. Kita bisa mengusutnya mulai dari kata kerja lampaunya yang terdiri dari tiga huruf, 'alima, yang kemudian beralih pola menjadi 'allama (dua huruf l), dan seterusnya.

Secara selanyang pandang saja sudah terlihat bahwa kata-kata tersebut terdapat dalam ratusan ayat dari puluhan surat.

Ketiga, konon, imam Syafi'i juga pernah mengatakan bahwa "sesungguhnya agama (Islam) ini adalah sebuah ilmu" (inna hadza-dini 'ilmun).

Studi Al-Qurãn


Apa Yang Saya Maksud Dengan Studi Al-Qurãn?

Studi jelas diambil dari bahasa Inggris, study, dan saya memahaminya sebagai "kegiatan mempelajari sesuatu dari A sampai Z".

Jadi, yang saya maksud dengan "studi Al-Qurãn" adalah mempelajari Al-Qurãn dari A (awal) sampai Z (akhir; selesai).

Sebagai perbandingan, sebut saja Arnold Joseph Toynbee (April 14, 1889 – October 22, 1975), sejarahwan Inggris yang menulis 12 jilib buku sejarah dunia, dan memberinya judul A Study of History (Sebuah Studi Sejarah), untuk menegaskan bahwa buku yang ditulisnya itu adalah sebuah hasil studi.

Mungkin anda bertanya sekarang ini studi saya sudah sampai di mana?
Jawabananya adalah: masih di titik A.

Saya memang sudah 'mengaji' sejak 20-an tahun lalu. Tapi hanya mengaji dalam pengertian belajar agama seperti kebanyakan orang. Ikut majlis ta'lim. Diskusi. Ngobrol. Membaca berbagai tulisan tentang agama.

Sampai sejauh itu, saya belum merasa telah benar-benar melakukan kegiatan yang layak disebut sebagai studi Al-Qurãn, dalam arti menempatkan teks Al-Qurãn sebagai bahan kajian.

Hal itu cukup menggelisahkan.

Saya merasa sebagai muslim. Tapi saya belum mengkaji kitab yang saya akui sebagai pedoman hidup saya.

Bagaimana mungkin Al-Qurãn bisa menjadi pedoman hidup bila saya belum pernah berusaha untuk mengenalnya sebaik-baiknya, sehingga saya bisa benar-benar beriman? Pertanyaan itu timbul setelah saya merenungkan surat Al-Baqarah ayat 121:

"Mereka yang ketika Kami datangkan kepada mereka Al-Kitab (Al-Qurãn), (lalu) mereka terus mempelajarinya dengan sebenar-benarnya, mereka itulah yang (pasti) akan beriman dengannya..."

Jadi, saya pikir, bagaimana mungkin saya mengaku bahwa saya "telah beriman", padahal saya belum pernah "mempelajari Al-Qurãn dengan sebenar-benarnya"?

Tuesday, December 1, 2009

Saya Mulai Dengan Bismillãh!


Bismillãhir-rahmãnir-rahîm!

Ya, saya harus memulai penulisan blog ini dengan "bismillãh". Sebab, potongan kalimat itulah yang tertulis (dan tentu harus dibaca!) di awal setiap surat dalam Al-Qurãn, kecuali surat At-Taubah, yaitu surat ke-9. Mengapa? Saya belum akan membahasnya sekarang.

Selain itu, ada sebuah hadis yang mengajarkan agar segala perbuatan baik dimulai dengan membaca bismillãh. Dan ini tentu bukan berarti bahwa kita boleh melakukan perbuatan yang tidak baik asal tidak baca bismillãh!

Di samping kedua hal tersebut, guru saya mengatakan bahwa inti dari Al-Qurãn adalah bismillãhir-rahmãnir-rahîm dan inti dari bismillãhir-rahmãnir-rahîm adalah ismullãh(i).

Tapi, kata guru saya pula, bismillãhir-rahmãnir-rahîm bukan berarti "dengan nama Allah yang mahapengasih dan mahapenyayang", karena ismullãh juga bukan berarti "nama Allah".

Lho, lalu apa dong?

Melalui blog ini, saya ingin berbagi dengan anda tentang pengalaman saya belajar Al-Qurãn - dan hasil-hasil belajar itu! - yang sampai kini masih berlangsung. Artinya, proses belajar saja belum berakhir (final). Dan karena itu, hasil-hasil belajar yang saya hidangkan di blog ini pun tentu belum merupakan hasil akhir.

Pokoknya, mari belajar Al-Qurãn, dan mari berbagi hasil.

Berbagi hasil yang tak akan membuat kita mengalami kehilangan.

Followers